Pages

Minggu, 20 September 2015

Aku dan Ruang Tunggu

Bahwa bahagia itu bukan semata-mata kita telah terlepas dari sebuah beban yang berat. Malah terkadang setelah mendapat bahagia kita akan bertemu dengan beban-beban hidup selanjutnya. Bahwa bahagia itu bisa terjadi di moment-moment sederhana. Hanya melihat orang lain bahagia saja, kita turut merasakan bahagia. Sederhana bukan?

Ketika berada di ruang tunggu, terkadang ada saja rasa cemas yang melanda. Karena ruang tunggu itu entah kapan akan berkahir, dari ruang kosong, menjadi ruang yang penuh dengan hadirnya kamu.  Tapi seketika kamu datang untuk mengisi ruang itu yang selama ini masih kosong, yang menjadi ruang tungguku.

Kamu datang kepada ayahku dengan sebait kata yang di ucapkan tidak lebih dari 1 menit, lalu kamu merubah segalanya. Merubah tanggungjawab ayahku terhadap aku, merubah kewajibanku terhadap kamu. Apakah ini yang disebut dengan bahagia?

Kamu orang yang asing dalam hidupku dan aku harus berbakti kepadamu. Apakah aku harus bahagia? Ketika aku dididik dan dibesarkan oleh kedua orangtuaku, belum sempat aku memahagiakan mereka, lalu kamu mengambilku, mengambil tanggungjawab dan peran ayahku. Apakah mereka bahagia?

Ya. Tentu saja, tentu saja aku bahagia, tentu saja kedua orangtuaku bahagia. Aku bahagia karena akhirnya ruang kosong itu sekarang di isi oleh seorang kamu. Orangtuaku bahagia, karena doa-doa yang selalu mereka panjatkan agar aku bisa segera bertemu dengan orang yang akan mengisi ruang kosong dihatiku, dan jawaban doa itu adalah kamu. Allah menghadirkan kamu untukku. Untuk mengisi ruang kosong setelah ruang tunggu yang cukup lama.